25.6.07

Padang Kotaku

Padang Kotaku. Suatu waktu nanti takkan lagi dengar ketipak terompa kuda.
Padang kotaku. Suatu hari nanti takkan lagi dengar ringkik kuda.
Padang kotaku. Suatu hari nanti takkan lagi bermimpi derak-derik, leguh-legah pedati dan genta.
Padang kotaku. Nanti takkan lagi terisak dari perjalanan jauh yang lama.
Gedebur ombak purus yang menghiba,
Kuningnya air muara dan kapal-kapal kecil di senja.
Dan aku tak melupakanmu, gunung Padangku, Taman Siti Nurbaya, Meriam Jepang serta Kuburan Tionghoa....
Panasmu lusuhkan kemeja,
deru badaimu,
angin lengkisaumu
dan masa lampaumu.
Aku tak bersedih karena semuanya ini.
Sebab : telah menggelitik bawah sadarku sampai aku jatuh cinta.
Bila aku tiada lagi nanti Padang Kotaku, janganlah bersedih
bagai mentari tenggelam di balik lautmu.
(Rusli Marzuki Saria, 1975)
Setelah baca puisi di atas, ntah kenapa gw berkaca-kaca.
Ingat Padang.
Ingat Batu si Malin Kundang.
Ingat Parak Gadang.
Ingat bau garam.
Ingat kerang-kerang koleksi waktu usia sekolah dulu (dulu gw hampir tiap minggu ke pantai).
Ingat Pematang sawah Parak Gadang-Air Camar-Aur Duri.
Ingat Layang-layang di musim kemarau.
Ingat Taman Imam Bonjol.
Ingat Taman Budaya.
Jembatan Siti Nurbaya di waktu malam.
Gunung Padang.
Teluk Bayur.
Kalumbuak.
Sitinjau Laut.
Bis kota dengan house music yang menghentak-hentak.
Makian khas sehari-hari : Kanciang, Anjiang, Pantek! (Astaghfirullah, maafkan saya ya Allah)
Ingat lantunan ayat-ayat suci Quran dari Musholla Baitul Huda.
Ingat mak itam, si kereta api pengangkut batu bara.
Ingat Amrin Membolos, tontonan wajib kita-kita SD Baiturrahmah 3.
Ingat Sala Lauak dan Es tebu, pasangan yang tepat di siang hari bolong yang panas.
Ingat Teman-teman.
Ingat Tetangga.
Ingat Tukang sate Kaki Lima dengan Carocok Keripik Bumbu Kuah sate.
Ingat Baiturrahmah,
Ingat SMP 2,
Ingat SMA 1,
Semuanya tertanam dengan baik dalam bagian otak yang menyimpan episodic memory....
membangkitkan emosi tertentu saat mengenangnya kembali lewat sebuah puisi.
Puisi pertama yang pernah gw bacakan di depan walikota Padang, juga di depan si pengarang puisi itu sendiri.
Waktu itu gw masih putih-merah, masih belum bisa menghayati puisi ini dengan baik meskipun ratusan orang memuja-muji dan menyanjung-nyanjung gw lah yang paling pantas membacakan puisi ini se-kota Padang dan mengganjar gw penghargaan tertinggi.
Kemudian puisi ini pun tenggelam bersama puisi-puisi lain.
Naskahnya tersimpan dalam sebuah kardus usang.
Setelah sekian lama, gw mencari-cari.
"Padang Kotaku" gw baca ulang,
13 tahun setelah pembacaan perdananya.
Baru sekarang gw paham setiap katanya benar-benar mengandung arti.
Tak pernah aku melupakanmu....
Padang Kotaku.

1 opinion(s):

Sepenuhnya said...

Sangat menjelaskan kondisi Padang

 
Header image by oPHy
Template by suckmylolly.com